Tuesday, February 12, 2013
KEROSAKAN AQIDAH: FENOMENA DAN PENGUBATANNYA (Bhg 3)
Oleh: Ikhwanul Wa'ie
Itu adalah penjelasan yang berkaitan dengan esensi keimanan. Adapun tentang bagaimana munculnya kelemahan iman pada seseorang, maka hal itu disebabkan oleh perbuatan maksiat. Imam Syafi’iy menggambarkan fenomena tersebut di dalam sya’irnya:
"Iman kami bertambah dengan ketaatan,
Dan berkurang kerana ketergelinciran. "
Banyak sekali dalil-dalil yang menyebutkan bahwa iman akan melemah dan berkurang kerana perbuatan dosa. Dan seseorang yang banyak melakukan maksiat akan menyebabkan hatinya tertutup, telinganya tuli dan matanya buta terhadap kebenaran. Hal ini bererti bahwa jika seorang muslim berbuat sesuai dengan hukum syara’, maka dia telah menghadirkan ‘idrâk shillah billâh’. Saat itu imannya hadir, sedangkan jika dia berniat melakukan maksiat, kemudian terjerumus dalam perbuatannya, maka dia telah menjauhkan dari benaknya ‘idrâk shillah billâh’. Ertinya, dia menjauhkan dirinya dari fikiran tentang azab yang menjadi akibat perbuatannya.
Maka dari dirinya hilang pemikiran-pemikiran tentang keimanan di dalam batinnya, dan semakin menjauh jika terus melakukan maksiat, atau sebaliknya (jika menyingkir dari tindakan maksiat) semakin bertawakal dan sangat optimis dengan rahmat Allah, atau justru putus asa (kerana perbuatannya).
Banyak sekali dalil-dalil yang menyebutkan bahwa iman semakin bertambah dengan ketaatan dan usaha yang keras agar selalu berbuat taat, serta dengan bersikap sabar dalam ketaatan
Firman Allah Swt:
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS. al-Ankabut [29]: 69)
Firman Allah Swt:
"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya." (QS. Muhammad [47]: 17)
Dan masih banyak nash-nash lainnya yang menyebutkan bahwa seorang hamba yang menjalankan perbuatannya sesuai dengan hukum syara’ dan dia menghadirkan idrâk shillah billâh serta pemikiran tentang pahala dan dosa, juga menghadirkan makna-makna keimanan yang sentiasa hadir dalam benaknya, maka hal itu akan semakin menambah keimanannya dan semakin kuat pembenarannya terhadapnya, semakin bertambah kecintaannya pada ketaatan, demikianlah seterusnya, sampai seorang mukmin itu mencapai derajat seolah-olah dia ‘melihat’ syurga di samping kanannya dan neraka di samping kirinya, dan shirâthal mustaqîm dihadapannya, menyasikan penghuni surga tengah memakai gelang-gelang mereka, dan melihat penghuni neraka sedang merintih-rintih. Hal itu diriwayatkan dari salah seorang sahabat tatkala Rasulullah saw bersabda kepadanya:
"Engkau telah mengetahui, maka konsistenlah."
Dalam pembicaraan kita tentang persepsi kuat lemahnya iman, harus dibedakan dengaan persepsi tentang ladzdzâtul îmân (kelazatan iman) atau apa yang dapat diungkapkan dengan ladzdzâtur rûhiyyah (kelazatan ruhiyah), yakni lazatnya idrâk shillah billâh, serta lazatnya makna-makna keimanan. Iman itu apabila telah hadir dalam benak seseorang ketika dia sedang melaksanakan suatu perbuatan, maka terkadang iman itu disertai kelazatan yang tumbuh dari pemuasan gharizah tadayyun atau dari pemenuhan perasaan manusia yang fithri yang memiliki kelemahan, kekurangan dan perasaan membutuhkan kepada Pencipta yang Maha Mengatur.
Wajar saja tatkala makna-makna keimanan itu hadir dalam benak dan ketika menjalankan amal perbuatan yang disertai dengan ruhiyah akan menghasilkan suatu kesenangan. Ini disebabkan oleh kedekatan pada Pencipta yang Maha Mengatur. Meskipun demikian hal ini tidak selalu terjadi. Ertinya, terkadang iman seseorang bertambah dengan menjalankan ketaatan dan menghadirkan makna-makna keimanan, akan tetapi kerana disebabkan pengaruh-pengaruh lainnya -baik psikologis atau pengaruh lingkungan- maka kesenangan itu tidak hadir meskipun imannya tetap kuat dengan komitmennya yang tegas untuk selalu menjalankan ketaatan dan untuk meninggalkan perbuatan maksiat.
Hilangnya kesenangan ruhiyah yang bersifat pemuasan gharizah ini dapat terjadi seperti halnya terkontaminasinya setiap kesenangan ghariziyyah lainnya oleh faktor-faktor psikologis dan situasi lingkungan. Seorang muslim yang peka perasaannya akan terpengaruh kesenangannya hidupnya dan nafsu makannya ketika mendengar berita-berita buruk mengenai kondisi kaum Muslim.
Demikian juga, seorang pendakwah kadang-kadang terpengaruh apabila manusia mendustakan dan merendahkannya, sehingga hal itu membuatnya sedih dan dadanya terasa sempit. Fenomena semacam itu akan mempengaruhinya dalam menikmati banyak kesenangan, diantaranya kesenangan ruhiyah. Rasulullah saw pernah merasakan kepedihan kerana penolakan manusia terhadap beliau, dan Allah Swt telah mengungkapkan kesedihan itu dalam firman-Nya:
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu kerana bersedih hati sesudah mereka berpaling. (QS. al-Kahfi [18]: 6)
Maksud ayat tersebut adalah, engkau telah membunuh jiwamu dengan kesedihan yang amat sangat. Tatkala waktu shalat tiba Rasulullah saw sangat mengharapkan dan merindukan kesenangan ruhiyah, dan kelazatan berada dekat dengan Allah (hal itu merupakan kesenangan yang mubah), dan beliau bersabda:
"Kita beristirahat dengannya (shalat) wahai Bilal. "
Kemudian beliau berdo’a:
Ya Allah, jadikanlah al-Qur’an yang agung sebagai penghias hati-hati kami dan pengubat dada-dada kami, serta menjadi penghilang kesedihan dan kegundahan kami.
Para sahabat radhiyallâhu ‘anhum merasa gembira dengan hadirnya kelazatan dan hadirnya idrâk shillah billâh ketika mereka sedang menggali parit (dalam perang Khandaq), dan mereka bersenandung:
Kami adalah orang-orang yang telah membai’at Muhammad,
Untuk berjihad terus selamanya.
Maka Rasulullah saw menjawab senandung mereka:
Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat,
Dan kasihanilah ya Allah (orang-orang) Anshar dan Muhajirah.
Kekuatan iman seperti yang dijelaskan oleh berbagai nash yang muncul dengan mengerjakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan terkadang tidak disertai kelazatan ruhiyah kerana adanya faktor kesedihan dan kontaminer lainnya. Namun, bagi para penyebar dakwah tidak pada tempatnya untuk meragukan keimanan yang dimilikinya apabila kelazatan itu tidak hadir dalam diri mereka. Situasi lingkungan serta faktor-faktor pengganggu lainnya, berupa berbagai problem hidup di dalam masyarakat kapitalis, hegemoni musuh-musuh Islam yang kafir serta dominasi mereka atas kaum Muslim, semua itu dapat memperkeruh kelazatan iman yang terkuat sekalipun.
Meskipun demikian hal itu tidak dapat dianggap sebagai bukti lemahnya keimanan seorang muslim, asalkan dia tetap konsisten dengan batas-batas (hukum) Allah, menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Kadang-kadang Allah menguji seorang muslim dengan rasa sedih dan rasa takut, dengan kekurangan harta dan buah-buahan. Terkadang Allah mengujinya dengan kekurangan dalam kelazatan imaniyah agar dia tetap melaksanakan setiap hukum-hukum meskipun merasa berat.
Jika dia mampu bersabar dengan semua itu maka Allah akan menambahkan pahalanya, dan akan ditambahkan pada pahala taat itu pahala bersabar untuk mengerjakan ketaatan. Insya Allah, Allah akan melipatgandakan pahalanya sehingga seakan-akan pahalanya lebih besar daripada orang yang beribadah dengan tanpa adanya kesulitan dalam pelaksanaannya.
Sebaliknya, kelazatan boleh saja hadir dalam kondisi lemahnya iman, atau bahkan dalam kekufuran dan syirik, kerana kelazatan ruhiyah adalah kelazatan yang diperoleh dari pemuasan gharîzah yang boleh terjadi pada setiap orang yang beriman kepada sesuatu yang ghaib, dan terjadi setiap kali seseorang mendekatkan dirinya kepada yang ghaib itu atau dengan mendapati pengaruh kedekatannya pada yang ghaib.
Jadi, baik seseorang itu mukmin, kafir, fasik, imannya lemah atau pun kuat, masing-masing dari mereka terkadang merasakan kelazatan atau kesenangan ruhiyah. Dengan demikian kita tidak perlu merasa hairan jika menyaksikan para sufi ekstrem dan kalangan Qubiriyyin, bahkan yang kafir dari mereka, juga kita tidak merasa hairan dengan fenomena yang diperlihatkan oleh para penganut Tao, Budha atau apa pun yang dipertontonkan oleh para penyembah salib dan berhala maupun selain mereka dari berbagai bentuk perasaan, emosi dan kondisi trance. Semua itu tiada lain adalah hawa nafsu atau pemenuhan gharîzah yang tidak sesuai dengan hukum-hukum Islam.
Di antara kaum Muslim sekarang ini, termasuk dalam kriteria lemahnya iman yang disebabkan sebagai akibat kemaksiatan yang terus menerus, adalah diperolehnya kelazatan ketika mereka berada di dalam masjid, pada saat mereka melakukan amal ibadah, ketika membaca al-Qur’an, dan lain-lain. Fenomena seperti itu dapat disaksikan sekarang ini di Masjidil Haram, pada waktu ibadah haji dan umrah, juga pada bulan Ramadhan, dimana mereka tenggelam dalam kesenangan ruhiyah meskipun sebagian dari mereka tatkala berkubang dalam kesenangan itu telah meninggalkan kewajiban-kewajiban lainnya, seperti silaturahim atau zakat, bahkan melakukan kemaksiatan yang lebih besar seperti melakukan transaksi dengan riba atau memakan harta yang haram.
Maksud dari kajian ini adalah agar ketika mengungkapkan fenomena yang ada menyangkut kerosakan akidah kaum Muslim, harus dibedakan antara pengertian iman dan pengertian lemah dan kuatnya iman, demikian pula dengan pengertian lazatnya iman dan manisnya iman. (bersambung)
sumber: suaraIslamonline
No comments:
Post a Comment