Monday, February 4, 2013

Kerosakan Akidah; Fenomena dan Pengubatannya (Bahagian 2)



Oleh: Ikhwanul Wa'ie



Pertama: Kelemahan Iman

Yang dimaksud dengan kelemahan iman adalah tidak adanya gambaran tentang akhirat dan hal-hal ghaib pada diri kaum Muslim yang dapat mempengaruhi perasaan dan tingkah laku mereka. Banyak sekali nash-nash yang menunjukkan bahwa keimanan boleh bertambah, boleh berkurang dan melemah.

Allah Swt berfirman:

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). (QS. al-Fath [48]: 4)

(Iaitu) orang-orang (yang menta`ati Allah dan Rasul), yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, kerana itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’. (QS. Ali Imran [3]:173)

Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. (QS. at-Taubah [9]: 124)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (kerananya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. al-Anfal [8]: 2)

Rasulullah saw bersabda:

'Andai ditimbang imannya Abu Bakar dan iman umat ini maka iman Abu Bakar lebih berat. '

Lemahnya iman seseorang meskipun amat parah tidak akan mengeluarkannya dari agama Islam dan tidak dianggap sebagai kekufuran, asalkan tidak disertakan  dengan pengingkaran kepada perkara yang qath’i yang ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah.

Iman dan i’tiqâd memiliki erti yang sama, yaitu tashdîq al-jâzim al muthâbaq li al-wâqi’ ‘an dalîlin (pembenaran yang pasti dan sesuai dengan realiti serta ada dalil atasnya). Jadi, tashdîq (pembenaran) itu kadang-kadang tidak jazm (pasti). Dengan kata lain tidak mencapai derajat yakin, contohnya adalah berita-berita yang sampai kepada kita dari seseorang yang bersifat adil, maka kita akan membenarkan berita yang dibawanya akan tetapi kita tidak menempatkan orang tadi dalam membenarkan berita yang dibawanya sampai darjat jazm (pasti). Meskipun kita membenarkan berita darinya akan tetapi masih ada kemungkinan dusta, keliru atau lalai (meskipun amat sedikit peluangnya), sehingga tidak menghasilkan jazm (kepastian). Apabila tercapai jazm maka akan tercapai iman. Sebaliknya, apabila jazm tidak tercapai maka hal itu hanya tashdîq (pembenaran) biasa.

Iman secara etimologi merupakan bentuk dari kata âmana. Di dalam kamus Lisanul Arab dikatakan, âmana yang berarti watsaqa wa ithma’annâ. Apabila dikatakan mautsûqun bihi berarti ma’mûn (aman). Jika dikatakan: âmana bi asy-syai (iman dengan sesuatu) berarti shaddaqahu wa âmina kadzibu man akhbarahu (membenarkan dan aman dari dusta atas orang yang mengkhabarkannya).

Ada beberapa aliran yang mendefinisikan iman. Kalangan Khawarij berpendapat: al-îmânu huwa ath-thâ’atu (iman adalah ketaatan). Berdasarkan definisi ini mereka mengatakan bahwa pelaku maksiat sebagai kafir, sebagaimana mereka mengkafirkan Ali, Utsman dan pihak-pihak yang menerima tahkim pada peperangan Shiffin. Adapun al-Karamiyyah mengatakan bahwa: al-îmanu iqrârun bi al-lisân (iman adalah pengakuan secara lisan). Dari sini mereka beranggapan bahwa seseorang yang menyembunyikan kekafiran tetapi secara dzahir menampakkan keimanan adalah tetap mukmin (yang sebenarnya), meskipun dia kekal di neraka. Dan orang yang menyembunyikan keimanannya bukanlah seorang mukmin, akan tetapi dia kekal di surga.

Aliran Murji’ah berpendapat bahwa: al-îmânu tashdîqun wa ma’rifatun, ‘ammâ al-‘amal falâ atsara lahu muthlaqan (iman adalah pembenaran dan pengetahuan, adapun perbuatan maka tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap iman). Mereka berpendapat bahwa lâ tadhurru ma’al îmân ma’shiyatun kama lâ tanfa’u ma’al kufri thâ’atun (suatu kemaksiatan tidak akan merusak iman sebagaimana keta’atan tidak berguna sedikitpun bagi kekafiran). Sebahagian di antara mereka amat ekstrem dengan mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati, meskipun menyatakan kekufuran dengan lisannya dan menyembah berhala.

Sementara Ahlul Hadits (yakni sebagian ahli sunnah wal jama’ah) mengatakan bahwa: al-îmânu ma’rifatun bil jinan wa iqrârun bil lisân wa ‘amalun bil arkân (iman itu adalah pembenaran dengan hati, pernyataan dengan lisan serta melaksanakan dengan perbuatan).

Kalangan al-‘Asy’ariyah dan Ahli Sunnah lainnya berpendapat bahwa: al-îmânu tashdîqun wa ammâ al-‘amal fahuwa min kamâlil îmân wa âtsarihi (iman adalah pembenaran, adapun amal perbuatan merupakan penyempurna iman dan pengaruhnya).

Masuknya (iqrârun bil lisân wal ‘amal bil jawârih, yakni pembenaran dengan lisan dan pelaksanaan dengan perbuatan) dalam definisi iman atau tidak, merupakan masalah yang harus ditinjau kembali kerana akan mengakibatkan hilangnya sifat iman pada orang yang tidak melaksanakan konsekuensi dari keimanan, yang mungkin terjadi pada sebagian aliran yang ada dewasa ini. Bahkan mungkin saja akan berakibat adanya takfir (mengkafirkan) sebagian besar kaum Muslim, kerana mereka meninggalkan konsekuensi-konsekunsi keimanan, sehingga pandangan terhadap kerosakan akidah pada kaum Muslim pun berbeda-beda.

Disyaratkannya iqrâr dan ‘amal dalam definisi iman yang merupakan aliran Ahli Hadits telah dikritik oleh banyak ulama akidah dan para fuqaha, seperti al-Juwaini, Imam al-Haramain, al-Baqillani dan lain-lain. Yang dikritik mereka adalah bahwa pada dasarnya harus digunakan definisi lughawî (secara bahasa) bagi iman selama tidak terdapat nash-nash syara’. Namun jika terdapat makna syar’iy-nya maka definisi lughawi tidak boleh  digunakan.

Adapun nash-nash syara yang menunjukkan bahwa pembenaran dengan lisan atau perbuatan termasuk dalam definisi iman, maka nash-nash tersebut tidak dapat berfungsi sebagai qarâin (indikasi-indikasi) yang dapat mengalihkan makna lughawi kepada makna syar’iy, kerana terdapat nash-nash dan dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa iman adalah tashdîq al-qalbi (jazm) saja. Seandainya Syâri’ telah menetapkan definisi syar’iy atas iman, maka pasti terdapat nash-nash syara’ yang menunjukkan hal itu, sebagaimana halnya definisi tentang shalat.

Dalil-dalil dan qarînah-qarînah yang menyebutkan bahwa iman hanya terbatas pada tashdîq saja banyak sekali, diantaranya adalah firman Allah Swt:

'Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar' (QS. Yusuf [12]: 17)

Dalil lain adalah Ijma’, yakni bahwa iman tetap ada pada orang yang melakukan maksiat. Juga nash yang menunjukkan bahwa syara’ memerintahkan untuk beramal setelah penetapan iman, seperti firman Allah Swt:

'Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.' (QS. al-Baqarah [2]: 183)

Syara’ juga membedakan antara iman dan amal ketika memisahkan keduanya dengan wawu ‘athaf, seperti dalam firman Allah Swt:

‘Athaf digunakan untuk membedakan. Dalil lainnya adalah bahwa hukum-hukum syara’ yang hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, juga ditujukan kepada orang-orang yang fasik, seperti juga ditujukan kepada orang-orang yang bertakwa. Ini berarti bahwa orang yang fasik dimasukkan dalam kriteria orang-orang yang beriman, dan jika dia mati maka dikuburkan di pemakaman kaum Muslim; dia dishalatkan, warisannya dibagi-bagikan dan lain-lain.

Selain itu, nash-nash berbagai hadits yang memasukkan iqrâr atau amal dalam definisi iman merupakan nash-nash tasyri’iyyah (yang mengandung hukum-hukum) bukan nash-nash ta’rifiyyah (untuk definisi saja). Nash-nash tersebut antara lain:

'Orang yang beriman itu adalah orang yang manusia merasa aman terhadapnya.'

Muslim itu adalah orang yang tidak menyakiti muslim (lainnya) dengan lisan dan tangannya.

Orang yang muflis (bankrap) di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat nanti dan dia telah mencaci orang ini….

Nash-nash tersebut dan yang semisalnya tidak dimaksudkan untuk mendefinisikan sesuatu tetapi lebih ditujukan untuk memberikan petunjuk dan ajakan untuk mengerjakan suatu perbuatan tertentu. Oleh kerana itu makna yang ada di dalam nash-nash tadi ditujukan kepada kesempurnaan iman atau hasil-hasilnya, bukan dititik beratkan pada adanya iman. Orang-orang Arab di dalam asâlib (gaya-gaya bahasa) yang mereka gunakan terkadang menamakan sesuatu dengan sesuatu yang merupakan hasil (akibat) dari suatu perkara, atau menamakan sesuatu dengan sebab terjadinya suatu perkara. Adapun hadits:

'Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkannya dengan lisan serta melaksanakan dengan amal perbuatan. '

Tidak mencapai derajat hadits marfu’. Itu merupakan atsar sebagaimana telah disebutkan oleh al-Baqillaani.

Demikian juga nash-nash yang menyatakan bahwa iman telah hilang dari orang yang mengerjakan perbuatan tertentu, atau mensifatinya dengan kekufuran, atau menyebutkannya sebagai jahiliyah, seperti hadits: Tidaklah akan berzina seorang pezina ketika ia berzina sedangkan dia beriman.

Demi Allah, tidak beriman…orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.

Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka dia tidak termasuk golongan kami.

Barangsiapa yang mati dan dibahu nya tidak ada bai’at maka sungguh dia telah mati jahiliyah.

Jika merujuk kepada nash-nash sebelumnya yang membedakan antara tashdîq dan amal serta berdasarkan pada definisi secara bahasa –yang sebenarnya- maka makna nash-nash ini harus dipalingkan. Disamping itu nash-nash tersebut tidak ditujukan untuk mendefinisikan esensi seorang mukmin dan esensi iman. Nash-nash ini hanya menafikan kesempurnaan iman (kamâl al-imân) dan kebenarannya, bukan menafikan eksistensinya. Ertinya, nash-nash ini hanya berupa indikasi-indikasi (qarâ’in) kearah keharaman, dan jika perbuatan itu dilakukan berakibat mendapatkan siksa.

Dengan demikian
maka kelemahan iman dan tidak tampaknya pengaruh iman tersebut di dalam tingkah laku, tidak akan mengeluarkan seseorang dari agama Islam, kecuali jika bercampur dengan pengingkaran kepada hal-hal yang ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah.

Begitu juga lemahnya iman tidak mempengaruhi pada tashdîq al-jâzim (pembenaran yang pasti) sehingga menjadikannya ghaira jâzim (pembenaran yang tidak pasti). Sebab, hakekat perkara yang qath’i akan tetap qath’i, baik sudah tertanam di dalam benak dan mempengaruhi tingkah laku atau pun belum hadir di dalam benak ketika melaksanakan amal perbuatan. Dalam dua kondisi tersebut tetap saja merupakan hakekat yang qath’i dan jâzim.

Berdasarkan hal ini tingkatan paling rendah dari lemahnya iman tetap saja dianggap iman, dan dianggap pembenaran yang pasti. Meskipun demikian pembenaran yang pasti saja tidak cukup untuk memperoleh ridha Allah, tetapi juga harus menta’ati-Nya serta kekal  melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
(bersambung)


sumber: suaraIslamonline

No comments:

Post a Comment