Monday, December 30, 2013

BERKENAAN BERDOA KEPADA WALI (YG TELAH MENINGGAL)




Suatu ketika,
penulis berbincang-bincang dengan seorang ustadz di kampung. Perbincangan sampai kepada masalah ‘ritual manaqib’ dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Dia bercerita bahwa salah seorang tokoh Manaqib mengatakan bahwa jika seseorang meminta kepada Allah dengan cara bertawasul kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, ini adalah tawasul kelas TK! Tawasul (baca: istighatsah[minta tolong]) yang tingkat tinggi adalah langsung meminta kepada Syaikh Abdul Qadir tanpa Allah.


Sampai di sini saya terperanjat. SI ustadz itu juga bingung. Ketika bertanya-tanya tentang masalah ini, saya mendapat khabar bahwa banyak yang memiliki pemahaman seperti ini. Yaitu meminta tolong kepada mayat secara langsung adalah bentuk tawasul yang top.


Fakta lain dari ‘ritual manaqib’, di situ terdapat ungkapan-ungkapan doa yang meminta langsung kepada wali-wali quthub, wali-wali penjaga bumi (Autad) dan kata ‘Ibadallah’ yang mungkin saja ini dimaksudkan untuk wali-wali tersebut. Di antara bentuk permintaan secara langsung adalah sa`alnakum sa`alnakum wa li az-zulfa rajaunakum (kami minta kepada kalian, kami minta kepada kalian dan demi kedekatan kami berharap kalian).

Tawassul Yang Dilarang Keras
Wahai saudaraku,
kata-kata tadi bukan sekadar tawassul yang diperselisihkan para ulama, yaitu meminta kepada Allah dengan tawasul kepada orang-orang saleh yang telah meninggal. Kalau yang ini memang banyak pro dan kontra di antara para ulama. Akan tetapi, meminta langsung kepada orang-orang yang telah meninggal atau wali-wali ghaib yang hanya berdasar khurafat sudah termasuk perbuatan syirik yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.


Mohon maaf,
saya tidak serta merta mensyirikkan pengamal Manaqib kerana masalah pengkafiran itu banyak syarat-syaratnya. Di antaranya harus ditegakkan hujjah kepadanya dan tidak adanya penghalang-penghalang.

Intipati Dakwah Rasulullah

Wahai saudaraku,
inti dakwah para Rasul adalah ifradullah bil-‘ibadah (mengkhususkan Allah dengan ibadah). Sampai Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersama para sahabat mempertaruhkan jiwa dan raga mereka selama dua puluh tiga tahun yang semua itu demi menegakkan tauhid di muka bumi. Tauhid adalah masalah inti dari agama Islam.


Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ.
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)


Allah subhanahu wata’ala berfirman,
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ.
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (Ghafir: 14)


Dua ayat tadi memerintahkan kepada manusia agar memurnikan ibadah kepada Allah (tauhid). Segala bentuk ibadah yang ditujukan kepada selain Allah adalah kemusyrikan.


Bentuk ibadah itu macam-macam.
Di antaranya berdoa. Bahkan doa adalah inti ibadah dan doa adalah sesuatu yang paling mulia di sisi Allah. An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ.
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud)


Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ.
“Tidak ada sesuatu yang paling mulia bagi Allah daripada doa.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)


Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa berdoa merupakan inti ibadah dan bahkan sesuatu yang paling mulia di sisi Allah, maka bagaimana dengan tindakan sebagian dari masyarakat yang berdoa kepada orang-orang yang telah meninggal yang mereka sebut dengan wali. Andaikata wali-wali Allah itu hidup di tengah-tengah kita, niscaya mereka akan memarahi orang-orang yang berdoa kepada mereka, karena doa itu ibadah yang besar yang menjadi hak khusus Allah subhanahu wata’ala, tidak boleh ditujukan kepada siapapun selain Allah.


Berdoa Kepada Selain Allah


Terhadap orang-orang yang berdoa kepada selain Allah, Al-Qur`an berkata secara tegas,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ.
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang menyembah selain Allah, (sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (do’a)nya sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan ) do’a mereka?” (Al-Ahqaf: 6)


Kemudian di dalam setiap rakaat shalat, kita wajib membaca surat Al-Fatihah yang di dalamnya terdapat ayat yang kita baca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong).


Mungkin timbul pertanyaan,
“Jika berdoa kepada selain Allah hukumnya musyrik, lalu kenapa kita sering meminta tolong kepada sesama manusia di antara kita?”


Meminta Tolong Sesama Manusia
Saudaraku,
meminta tolong kepada sesama manusia yang masih hidup dalam hal yang dimampui makhluk itu menunaikannya adalah sesuatu yang tidak perlu diingkari, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang kisah Nabi Musa alaihissalam.


Dia berfirman,
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ.
“Orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk (mengalahkan) orang yang dari pihak musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.” (Al-Qashash: 15)


Ayat ini menjelaskan tentang orang bani Israil yang bertengkar dengan orang Mesir, lalu meminta pertolongan kepada Nabi Musa alaihissalam dan Musa memukul orang Mesir tadi hingga meninggal.


Kerana itu, tolong menolong di antara sesama manusia bukanlah termasuk syirik, bahkan kita dianjurkan untuk tolong menolong dalam hal kebaikan. Hal ini tentunya lain dengan meminta tolong kepada wali-wali yang telah meninggal yang tidak mampu  memberikan manfaat dan mudharat apapun kepada kita (kecuali berdasarkan khurafat-khurafat yang tanpa sandaran akal maupun syara’).

Perkara Yang Jelas


Saudaraku,
ini adalah perkara yang jelas (muhkamat) dan ini adalah tujuan utama diutusnya para Rasul. Setiap mukmin yang sejati senantiasa takut jika dirinya terjerumus ke dalam kemusyrikan. Ia selalu berhati-hati. Namun, dalam kenyataannya kita banyak menemukan orang yang meninggalkan perkara yang jelas ini (muhkamat) lalu menuju perkara-perkara yang masih samar (syubhat). Kenapa orang ini tidak mengkhawatirkan keimanannya?


Jika seseorang terjerumus ke dalam kemusyikan, semua amal-amalnya yang telah dilakukan menjadi rosak dan jika tidak bertaubat hingga meninggal dunia, akan kekal di neraka selama-lamanya. Na’udzu billah.


Meskipun perkara tauhid ini begitu jelas dan terang  laksana mentari di siang hari, namun ada sebagian orang yang lebih memilih syubhat-syubhat yang sebetulnya syubhat-syhubhat itu sangat rapuh. Untuk itu, insya Allah, penulis akan membahasnya dalam kesempatan lain. Wallahu a’lam.


رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ.
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi." (Ali Imran:)


sumber: https://www.facebook.com/abidunblog/posts/10152016041360955

No comments:

Post a Comment