Pengagungan kuburan dan komplek makam sudah menjadi kebiasaan sebahagian masyarakat, bahkan menjadi sebagian amalan keagamaan mereka yang tak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Di antaranya, dengan membuatkan bangunan makam dan memperindahnya, menjadikannya sebagai tempat shalat, mengkhatamkan baca al-Qur`ân di sampingnya dan memanjatkan do’a kepada penghuni kubur (bukan kepada Allâh Azza wa Jalla), [atau berdo'a kepada Allah dengan perantaraan penghuni kubur].
Menilik Dari Sejarah
Menilik sejarah generasi Salaf, pantas dikatakan bahwa amalan2 ibadah di atas termasuk dalam kategori bid’ah, satu perbuatan dalam beragama yang tidak pernah diperbuat oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat Islam. “Semua itu adalah perkara baru, belum pernah tersebar (dikenal) kecuali pasca tiga generasi paling utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tâbi’it Tâbi’in)” [Dirâsâtun fil Ahwâ wal Furûqi wal Bida’i wa Mauqifis Salafi minhâ, DR. Nâshir al-‘Aql hlm. 274].
Tiada Dalam Ajaran Sebenar
Pada tiga generasi pertama ini, tidak ditemukan petunjuk dan pembicaraan satu pun terkait pengagungan terhadap kubur sebagaimana disaksikan sekarang.[Silakan lihatIqtidhâ Shirâthil Mustaqîm 2/728] Dahulu tidak ada yang mengatakan, ‘berdo’a di kuburan Fulan akan dikabulkan’, ‘pergilah ke kuburan Fulan agar Allâh Azza wa Jalla memudahkan urusanmu’, atau mengadakan perjalanan khusus ke kubur yang sering dikenal dengan lawatan keagamaan. Bahkan dahulu tidak ada istilah safar syaddul rihâl (menempuh perjalanan jauh) yang bertujuan menziarahi kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini termasuk istilah asing yang belum dikenal sebelumnya. Justeru dipandang sebagai tindakan berlebihan.
Sebab yang tepat dan masyru’ (disyari’atkan) ialah berziarah (mengunjungi) Masjid Nabawi. Kitab-kitab Ulama terdahulu pun tidak ada yang membahas tema khusus berjudul ziyâratu qabrin Nabiyyi (ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). [Silakan lihat Âdâb wa Ahkâm Ziyâratil Madînah al-Munawwarah, Dr. Shâleh as-Sadlân, Dâr Balansiyah hlm. 11]
Lantas, bila mulai munculnya fenomena-fenomena tersebut ? Fenomena tersebut baru mulai muncul dan menyebar pada abad keempat, setelah berlalunya tiga generasi pertama umat yang dipuji oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada awalnya, berkembang pada golongan Syiah (Rafidhah) semata-mata. Selanjutnya, ketika golongan ini berhasil membangun negara-negara kecil berasaskan Syiah dan Batiniyah, seperti rejim ‘Ubaidiyah, Qarâmithah, dan Ismâ’iliyah, penyebaran tradisi pengagungan kuburan kian meluas. Penyebarannya kian bertambah manakala tarekat-tarekat Sufiyah ikut meniru tradisi Syi’ah (baca: bukan Ahlus Sunnah) ini.
Akibatnya
Hampir seluruh negeri kaum Muslimin terkena dampak buruknya. Akibatnya, masyarakat merasa asing dengan petunjuk-petunjuk Nabi dan orang-orang yang komitmen dengannya. Di negeri ini, masyarakat diajak untuk mengagungkan kuburan, dengan berbagai dalih seperti penghormatan tokoh dan mengenang jasa-jasa baiknya melalui acara Haul yang diadakan secara besar-besaran. Lawatan-lawatan keagamaan dengan tujuan makam-makam orang-orang yang dianggap sebagai wali tetap dikunjungi peminat. Bahkan sebagian orang memang berniat untuk mengunjungi kuburan-kuburan dengan menumpuk harapan mendapatkan solusi hidup, kemudahan rezeki, kedatangan jodoh dan lainnya.Wallâhul musta’ân.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengenal (adanya riwayat) dari seorang Sahabat Nabi, generasi Tabi’i maupun seorang imam terkenal yang memandang disunahkannya mendatangi kuburan untuk berdo’a (kepada penghuni kubur, red). Tidak ada seorang pun meriwayatkan sesuatu tentang itu, baik (riwayat) dari Nabi, Sahabat maupun dari seorang imam yang terkenal”. Beliau rahimahullah menambahkan, “Kemunculan dan penyebarannya ketika pemerintahan Bani ‘Abbâsiyah melemah, umat saling berpecah-belah, banyak orang zindiq yang mampu memperdaya umat Islam, slogan ahli bid’ah menyebar. Iaitu, pada masa pemerintahkan al-Muqtadir di penghujung tahun 300an.
Pada masa itu, telah muncul Qarâmithah ‘Ubaidiyah di Maroko. Kemudian mereka menginjakkan kaki ke negeri Mesir…”. Mereka membangun kompleks pemakaman ‘Ali di Najef, padahal sebelumnya, tidak ada seorang pun yang mengatakan kubur Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu berada di sana. Sebab ‘Ali dikuburkan di lingkungan istana di kota Kufah. Tujuan mereka ialah memporak-perandakan ajaran Islam yang berasaskan tauhîdullâh [mentauhidkan Allah].
Selanjutnya, mereka memalsukan banyak hadits perihal keutamaan menziarahi pemakaman, berdo’a dan shalat di sana. Orang-orang zindiq ini dan para pengikutnya lebih menghormati dan mengagungkan tempat-tempat pemakaman, daripada masjid-masjid [Lihat al-Fatâwâ 27/167,168]. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Orang yang pertama kali menyusupkan bid’ah pengagungan kuburan ialah rejim Ubaidiyah di Mesir, Qarâmithah dan Syiah (yang jelas bukan termasuk Ahlus Sunnah, red)”[Siyar A’lâmin Nubâlâ 10/16]
Kesimpulan
Budaya pengagungan kubur secara berlebihan sampai meminta pengharapan kepada penghuninya berasal dari golongan Syiah yang sering memusuhi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adalah salah, bila seorang Muslim melakukan pengagungan seperti yang telah dipaparkan di atas. Rasûlullâh Muhammad telah menetapkan apa yang patut dilakukan ketika berziarah ke kubur, iaitu mengucapkan salam, melepas alas kaki, mendoakan penghuni kubur, selain bertujuan untuk mengingatkan akhirat kepada kita.
Wallâhu a’lam.
"Jauhi bida'ah, kembali kepada sunnah"
sumber: zilzaal
No comments:
Post a Comment